THE POWER OF LOVE
Life to Love People and With Love We Can Live

Nasionalisme, pemecahbelah ummat atau pemersatu ummat ?

Islam dan Nasionalisme Mungkinkah kita menjadi muslim taat, sekaligus nasionalis sejati pada saat yang bersamaan? Jawaban ini sangat tergantung kepada definisi, persepsi dan penghayatan kita atas makna nasionalisme itu sendiri.

Istilah nasionalisme dalam sejarah kontemporer Indonesia, dimengerti sebagai manifestasi sikap patriotisme radikal terhadap kolonialisme dan imperialisme. Menurut Soekarno, nasionalisme atau rasa nasionalis “Membentuk rasa percaya diri dan merupakan esensi mutlak jika kita mempertahankan diri dalam perjuangan melawan kondisi-kondisi yang menyakitkan“. Dikatakan juga bahwa nasionalisme menunjukkan adanya keyakinan dan kesadaran rakyat bahwa mereka merupakan satu golongan dan satu bangsa. Dalam perkembangannya, nasionalisme Indonesia tidak hanya ditujukan kepada kolonialisme Barat, tetapi terhadap semua jenis kolonialisme. Fenomena ini tidak dipahami dengan baik oleh Jepang pada masa Perang Dunia II. Mereka mengira, nasionalisme Indonesia tidak untuk melawan mereka. Kesalahpahaman ini menempatkan Jepang pada situasi yang sulit dalam berkompromi dengan para pemimpin nasional Indonesia, yang sebagian besar menganut agama Islam.

Dari sinilah seorang al-Maududi, tokoh Islam Pakistan (1903-1979), misalnya, berbeda pendapat dengan tokoh pendiri IM (Ikhwan al-Muslimin), Hasan al-Banna (1906-1949). Al-Banna dalam risalah al-mu'tamar al-khamis, misalnya mengatakan, "Relasi antara Islam dan Nasionalisme tidak selalu bersifat tadhadhud atau kontradiktif. Menjadi muslim yang baik tidak selalu berarti antinasionalisme." Kalau kita teruskan: menjadi sekularis juga tidak selalu berarti menjadi nasionalis tulen. Sebaliknya al-Maududi menolak kehadiran nasionalisme dalam pemikiran Islam, karena ia adalah produk barat dan hanya membuat pecah-belah umat Islam.

Tatkala Al-Banna dan gerakan Ikhwannya dituduh oleh lawan politiknya sebagai tidak punya jiwa dan semangat nasionalisme, beliau menolak keras, dan berkata, kalau yang di maksud nasionalisme (حب الوطان) adalah:
Cinta tanah air
Membebaskan negara dari imperialisme
Merapatkan barisan dan merekatkan tali persaudaraan
Maka kami adalah nasionalis sejati. Karena nilai-nilai di atas bagian tak terpisahkan dari Islam. Kami siap berjuang di garda terdepan. Pendapat ini diamini oleh Dr. Yusuf al-Qardhawi dan Dr. M. Imarah. Pada perspektif ini, kita bisa melihat Islam-Nasionalisme bersenyawa dimana Nasionalisme diartikan bikan hanya sebatas mencintai tanah air, atau tunduk patuh pada pemerintah ataupun sekedar memperjuangkan batas-batas negara dan hak-hak rakyat, melainkan bagaimana menjadikan antar elemen masyarakat menjadi satu kesatuan yang kokoh, yang tidak mudah goyah. Mendewasakan masyarakat dan membangun ummat.

Sementara al-Maududi, kelompok HT (Hizbut Tahrir), dan kelompok yang sealiran denganya, misalnya, menolak konsep nasionalisme, karena beberapa alasan. Diantaranya:
1. Umat Islam diharamkan mengadopsi nasionalisme karena nasionalisme bertentangan dengan nilai-nilai dan prinsip Islam. Misalnya, kesatuan umat Islam wajib didasarkan pada ikatan aqidah, bukan ikatan kebangsaan dan batas geografis. Mereka mendasarkan pendapatnya pada al-Qur'an (Al Hujurat : 13 dan Hadits Abu Dawud)
“Sesungguhnya orang-orang beriman adalah bersaudara."
“Tidak tergolong umatku orang yang menyerukan ashabiyah fanatisme golongan, seperti nasionalisme."

2. Islam mewajibkan umatnya untuk hidup di bawah satu kepemimpinan (Khilafah Islamiyah). Haram bagi mereka tercerai-berai di bawah pimpinan yang lebih dari satu.

Nasionalisme menimbulkan fanatisme kesukuan dan klaim tak sehat
Abu 'Ala al-Maududi (1903), menolak ide nasionalisme karena hanya memecah belah umat Islam. Membuat Turki (Dinasti Utsmaniyah) dan Mesir berseteru.

Suguhan di atas menggiring kita kepada kesimpulan, bahwa cara pandang, refleksi dan pengalaman sejarah yang berbeda menghasilkan hukum yang berbeda pula, searah dengan kaidah al-hukmu bi as-syai far'un 'an tashawurihi, yang menegaskan ada hubungan yang sangat erat antara putusan hukum dengan pengetahuan kita tentang obyek yang dihukum. Hizbut Tahrir, misalnya, lebih melihat nasionalisme sebagai semangat sekat-sekat geografis yang bertentangan dengan konsep persatuan umat Islam. Nasionalisme juga dinggap bertentangan dengan ijma ulama yang menetapkan kewajiban mendirikan khilafah Islamiyah dengan satu kepemimpinan (imamah al-udzma/khalifah).

Bersikap Moderat

Nasionalisme dengan pengertian paham (ajaran) untuk mencintai bangsa dan negara sendiri dan kesadaran keanggotan dalam suatu bangsa yang secara potensial atau aktual bersama-sama mencapai, mempertahankan, dan mengabadikan identitas, integritas, kemakmuran, dan kekuatan bangsa (KBBI, cet. 1999) bukan hanya tidak bertentangan, tapi juga bagian tak terpisahkan dari Islam. Artinya, kita bisa menjadi muslim taat, plus seorang nasionalis sejati.

Adapun keberatan Hizbut Tahrir dan yang sependapat dengannya, bisa dibantah dengan:
1. Nasionalisme tidak bertentangan dengan konsep persatuan umat dan tidak menghalangi kesatuan akidah. Batas geografis tidak sepenuhnya negatif. Solidaritas umat tetap bisa dibangun, apalagi kita sekarang berada di era globalisasi. Solidaritas Uni Eropa bisa menjadi contoh kita. Pokok soal kemunduran peradaban umat Islam bukan pada tidak adanya khilafah, tapi pada kemiskinan, kebodohan, ketertinggalan, dan kurangnya solidaritas umat. Islam punya nilai yang sifatnya global dan tanpa batas, seperti dalam akidah dan ibadah. Tapi dalam kasus tertentu, Islam memperhatikan, dan sangat mengutamakan kepentingan lokal seperti pembagian sedekah dan zakat diwajibkan tetangga dan wilayah terdekat dulu. Baru setelah dianggap cukup boleh dialihkan ke luar (dalam fikih, masalah ini dibahas secara detail, dengan bahasan naqlu zakat). Dengan kata lain, sebuah khilafah tidak bisa dibangun dalam waktu yang singkat, melainkan butuh waktu yang cukup lama.

2. Dalam konteks demokrasi, kita tidak akan menolak pendapat yang mewajibkan mendirikan Khilafah Islamiyah. Silahkan diperjuangkan secara konstitusional. Tapi kita juga harus menghargai pendapat yang mengatakan bahwa Khilafah Islamiyah sama sekali tidak wajib dalam kondisi apapun, atau pendapat yang mengatakan bahwa Khilafah Islamiyah dalam konteks kekinian tidak wajib lagi, karena sangat susah untuk diwujudkan. Pendapat yang terakhir ini didasarakan pada pendapat Imam Haramain yang mengatakan bahwa sentralisasi kepemimpinan itu wajib kalau memang kondisi memungkinkan (al-Ghiyasi, hal 172).

3. Nasionalisme yang mengarah kepada fanatisme kesukuan, tentu kita setuju menolaknya. Tapi tidak selamanya nasionalisme selalu berwajah fanatisme dan perpecahan antarsuku. Sejarah membuktikan bahwa nasionalisme punya saat-saat membebaskan dan mencerahkan. Nasionalisme di Barat pada abad 18 M adalah revolusi perlawanan rakyat atas hegemoni kaum aristokrat dan anti dominasi gereja. Di negara terjajah, nasionalisme bercorak antiimperialisme dan penjajahan asing.

4. Kita setuju penolakan Maududi atas paham nasionalisme dalam konteks perseteruan Mesir/Arab-Turki yang lebih merupakan perseteruan Arab-non Arab. Tapi menggenalisir nasionalisme menjadi sepenuhnya negatif adalah kekeliruan. Karena alasan yang telah disebut pada poin tiga.

Dalam konteks kenegaraan di Indonesia, sisi positif Nasionalisme ditunjukkan dengan dukungan Islam didalam perjuangan merebut kemerdekaan. Islam dengan semangat kebebasan dan anti penjajahan mampu menjadi motivator dalam mengusir penjajah, sehingga kita menikmati kemerdekaan ini. Kemudian dalam masa pengisian kemerdekaan Islam juga berperan didalam pembentukan dasar Negara. Terbukti dalam sejarahnya banyak tokoh Islam yang ikut berperan aktif di dalam BPUPKI untuk berusaha meletakkan pengaruh Islam dalam pemerintahan.

Jauh sebelum itu, Pemberontakan besar kaum muslimin terhadap kolonialisme belanda  di abad ke-19, yang paling terkenal dan dalam skala besar adalah Perang Padri di Sumatera Barat; Perang Diponegoro di Jawa Tengah; dan Perang Aceh. Perang Aceh merupakan perang yang paling hebat dan yang paling panjang, yaitu dari tahun 1872 sampai 1912. Selain itu, di masa-masa perjuangan pun memasuki abad ke-20 Kh. Hasyim Asyari mengeluarkan resolusi Jihad, dimana setiap ummat islam wajin turut serta dalam membela dan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Ini menunjukkan bagaimana peran ummat Islam dalam membela tanah Airnya, dalam memperjuangkan setiap jengkal tanahnya, tujuannya hanya 1 demi kemakmuran dan kemaslahatan ummat.

Kesimpulan

Kembali kepada pertanyaan tentang: relasi Islam dan Nasionalisme: apakah kontradiktif? Semuanya tergantung pada penghayatan dan pemaknaan kita atas nasionalisme itu sendiri. Nasionalisme yang ekspansif (meminjam Istilah Dr. Syafi'i Ma'arif) dan terjebak pada chauvinisme, seperti yang dipraktekkan Hitler dan Israel tentu bertentangan dengan nilai-nilai luhur Islam. Sebaliknya nasionalisme formatif, dimana nasionalisme diartikan sebagai cinta tanah air, membebaskan negara dari imperialisme, merapatkan barisan dan merekatkan tali persaudaraan dan membangun ummat adalah bagian tak terpisahkan dari ajaran Islam. Sebagaimana apa yang dikatakan oleh Umar Bin Khattab ra. "Dimana terdengar kumandang adzan, disitulah tanah air kita kaum muslimin dan kita wajib memperjuangkannya." Mengacu pada perkataan ini bahwasannya sebagai muslim pada dasarnya tanah air kita bukan hanya 1 atau 2 daerah, melainkan setiap daerah yang dikumandangkan adzan, setiap daerah yang terdapat kaum muslimin, maka disitulah tanah air kita. Ini memunculkan sebuah paham bahwa ummat Islam bukan hanya mencintai tanah dimana ia dilahirkan, dibesarkan, dan ditinggali saja, melainkan semua daerah yang berada kaum muslimin.

Islam dan Nasionalisme Indonesia adalah dua sisi mata uang yang saling memberikan makna. Keduanya tidak bisa diposisikan secara diametral atau dikhotomik. Nasionalisme selalu meletakkan keberagaman atau pluralitas sebagai konteks utama yang darinya dapat melahirkan ikatan dasar yang menyatukan sebuah negara bangsa. Idealnya umat Islam tidak perlu merasa khawatir kehilangan identitasnya karena persenyawaannya dalam negara bangsa. Perjuangan yang ditekankan untuk menonjolkan identitas atau simbol-simbol keIslaman dalam kerangka perjuangan politik kebangsaan hanya merupakan cerminan kelemahan umat Islam sendiri.

Selain itu, meskipun terbuka peluangnya di alam demokrasi ini, penekanan berlebihan dalam hal itu akan potensial menjadi penyulut disintegrasi, dan ini tidak sejalan dengan nasionalisme itu sendiri. Idealnya, perjuangan politik umat Islam menekankan pada penguatan nasionalisme Indonesia dengan memperkokoh faktor-faktor perekat kebangsaan yang secara substantif. Nilai-nilai dimaksud merupakan nilai-nilai universal Islam yang menyentuh kesadaran pragmatis warga negara, seperti keadilan, kesejahteraan, kepercayaan, dan sebagainya.

Itulah sebabnya Al mawardi, dalam kitab al-Ahkam al-Shulthaniyyah mempersyaratkan keadilan bagi seorang pemimpin negara dan tidak memasukkan syarat harus beragama Islam, dan dalam kitabnya yang lain, yakni Adab al-Dunya wa al-Din ia merumuskan proposisi bahwa umur persatuan sebuah bangsa sesungguhnya ditentukan oleh keadilan dalam bangsa itu. Selama keadilan ada dalam kehidupan bangsa itu, selama itu pula mereka akan tetap bersatu. Begitu keadilan berganti dengan kezhaliman, maka tunggulah saat perpecahan mereka. Wallahu 'Alam

*diambil dari berbagai sumber dengan penyesuaian

Share on Google Plus

0 komentar: